Percaya, Allah Takkan Menyia-nyiakanmu!

 


Sumber: Google

Aku ingin bercerita tentang seorang gadis pejuang al-Quran yang mengalami kecelakaan, tanpa rasa sakit, tanpa luka yang menodai badan. Sebuah kecelakaan motor, tepatnya sepeda motor yang menabrak sepeda motor pada siang hari, di jalan raya, di antara para kendaraan-kendaraan besar yang lalu lalang.

Gubrakkk!!

“Kamu ini gimana bawa motor? Nggak liat apa saya mau belok?! Main tabrak aja! Lihat, ni, motor saya lecet, badan saya luka-luka.” Umpat seorang bapak paruh baya dengan logat khas bataknya seraya menunjuk lecet di pundak dan lengannya. Sekilas gadis itu juga melirik beberapa bagian baju Bapak tersebut yang robek akibat mencium aspal.

“Maaf, Pak. Saya tidak melihat lampu sein Bapak. Saya juga buru-buru, Pak.”

“Duduklah di sana dulu, Dek. Isitirahat dulu.” Kata seorang pemuda sembari menyodorkan sebotol air mineral.

“Saya buru-buru, Bang. ada janji!” Jawab gadis tersebut mulai gusar.

“Ke pinggir aja dulu. Ajak damai. Nanti ribet kalau ada polisi.” Lanjut pemuda itu lagi.

Gadis tersebut segera mendekati Bapak paruh baya tadi yang masih merepet (baca: mengoceh marah) dan menyatakan permohonan maafnya secara tulus sembari menyodorkan uang seratus ribu.

“Saya minta maaf banget, Pak. Saya nggak sengaja menabrak bapak dan saya buru-buru. Saya ada acara nanti bla-bla dan udah janji jam 11 ni mau berangkat bareng dari bla-bla-bla. Ini uang untuk berobat Bapak. Sekali lagi saya minta maaf, Pak.” ucap gadis tersebut dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Kamu kerja?”

“Saya mahasiswa, Pak.

“Lima puluh ribu, aja.” Jawa bapak tersebut mulai melunakkan suaranya.

“Nggak apa, Pak. Untuk biaya berobat Bapak.” Jawab gadis tersebut dan mengulang lagi permohonan maafnya serta meminta izin untuk pergi.

Gadi itu beranjak dan segera menyalakan motornya dengan engkol. Sekali, dua kali. Tidak hidup. Setelah yang ketiga kalinya ia dibantu oleh pemuda tadi.

Darah?!

Ada bercak darah di atas jok bekas tempat yang ia duduki.

Pemuda tadi mengengkol sepeda motor tersebut beberapa kali dengan berdiri dari samping. Segala puji bagi Allah. Motor tersebut hidup.

‘Ya Allah, semoga nggak ada yang lihat darah tadi.’ Gumam gadis itu dan segera pamit untuk melanjutkan perjalanan.

Beberapa fuso berjalan pelan berurutan memenuhi jalan raya lintas Sumatra. Seorang gadis mengendarai sepeda motor Supra non matic di belakangnya. Lajur kanan kosong.

Gadis yang menargetkan akan sampai ke tempat tujuan dalam waktu 1 jam tepat tersebut mau tak mau harus menyalip kendaraan yang ada di depannya. Ia tahu, seharusnya ia menargetkan waktu sekitar 1 jam 20 menit paling tidak, agar tidak terlalu buru-buru. Ya, ia lupa kalau ini sudah menjelang siang dan jalanan akan padat.

Gadis itu menyalip dua buah fuso yang bergerak di depannya. Ternyata, ada sepeda motor yang hendak belok ke kanan. Ia tak tahu, kalau di situ ada simpang dan dia juga tak melihat lampu penanda untuk belok kanan menyala pada motor yang dikendarai Bapak tersebut.

Kedua motor tersebut memang tidak melaju kencang, tapi tabrakan tidak bisa dihindari. Kedua pengendara motor tersebut jatuh. Si Bapak di lajur kiri dan si gadis di lajur kanan.

Sontak dunia seakan berhenti berputar.Tepat sekitar 2 meter fuso di lajur kiri yang menghadap bapak paruh baya tadi dan kurang lebih 10 meter di depan si gadis juga ada fuso yang berhasil mengerem kendaraan penuh muatan yang dibawanya.

Sesaat setelah kakinya tertimpa motor yang ambruk ke kiri, gadis tersebut sadar akan bahaya. Ia spontan menggelinding ke kanan jalan dan berdiri dengan dibantu seorang pemuda yang tak dikenalnya. Kakinya terasa pincang. Tapi ia bersyukur berhasil menghindari ancaman MAUT yang ada di depan matanya (baca: TERLINDAS FUSO). Na’udzu billah min dzalik.

Bapak parah baya itu? alhamdulillah sudah ditolong oleh orang lain, begitu juga dengan kedua motor mereka.

Di sepanjang perjalanan, gadis tersebut merenungi apa yang baru saja ia alami. Pikirannya tidak menentu.

Darah apa tadi? Ini belum waktunya haidh atau datang bulan. Apa yang terluka? Jika saja fuso-fuso itu tidak berhasil dihentikan….

Ada kekhawatiran di dalam dirinya. Apakah ia akan sampai di rumah kakaknya dengan selamat. Kekhawatiran itu mengarahkan motornya untuk melalui jalan tanah yang tidak rata demi menghindari daerah rawan kecelakaan yang lebih berbahaya. Sekitar 1 KM ia menempuh jalan tanah liat yang jika tertimpa hujan –sedikit— akan sangat licin. Ketika jalan tanah tersebut mencapai ujungnya, gadis itu menyadari rok celana hitam yang ia kenakan semakin basah.

Darah dari mana ini? Tapi tidak ada rasa sakit sama sekali.

Setelah menempuh hampir satu jam perjalanan, gadis itu sampai di rumah kosong. Ya, rumah kakaknya yang ditinggal kerja jika di siang hari. Ia segera membuka kunci rumah dan meletakkan barang-barang bawaannya di kamar. Tak lupa, ia juga membuka jaket yang ia kenakan. Aih, baju seragam yang akan ia kenakan di acara ternoda darah, walau tak banyak tapi cukup memakan waktu untuk membersihkannya. Darah menetes di lantai. Ia segera ke kamar mandi dan mengganti semua pakaiannya.

Lumayan lama untuk membersihkan darah yang terus keluar. Ia berbaik sangka, semoga itu darah haidh walau merasa tak lazim.

Setelah darah lumayan berhenti, ia menyumpalkan kain di celana dalamnya dan mencari pembalut di rumah tersebut. Nihil. Alhasil, ia ke warung yang berjarak sekitar 600 meter –pulang pergi—dengan berjalan kaki dan menyeberangi jalan raya.

Sekembalinya, ia segera mengganti kain penyumpal yang penuh darah dengan pembalut yang ia beli. Hatinya semakin ragu untuk pergi. Walau yang akan dihadiri adalah undangan bupati dan media reuni setelah memenangkan kompetisi tahunan yang dilangsungkan sekitar satu bulan sebelumnya, ia merasa tak aman setelah melihat darah yang tak kunjung berhenti mengalir.

Kakak dan keponakannya pulang. Ia menemui mereka dan turut memakan makanan yang dibawa kakaknya. Ia juga sempat bercerita dengan keponakannya yang masih TK mengenai pelajaran hari itu dan sebelumnya. Tak ada obrolan keluhan dan semacamnya.

Sudah dua jam sejak kejadian di jalan raya yang menimpanya. Gadis itu semakin tak nyaman dan bergegas menuju kamar mengambil pembalut baru. Darah kembali berceceran. Tak peduli, ia segera berlari ke kamar mandi. Lumayan lama. Setelah menyelesaikan hajat dan mengelap darah yang berceceran di lantai, ia tak sanggup lagi menyembunyikan apa yang telah ia alami.

“Kak, tadi aku jatuh dari motor….”

Kakaknya shock dan tak yakin.

“Beneran kamu jatuh? Bukan dikerjain orang, kan???” Pikirannya mulai liar.

“Iya. Ini buktinya.” Gadis itu menunjukkan ransel yang ia bawa yang bagian depannya sobek sedikit karena membentur aspal, sudut atas hp yang tergores dan retakan-retakan yang hampir memenuhi monitornya. Ia juga menunjukkan sepatunya yang tergores dan sedikit berlubang akibat tertimpa motor. Juga area sekitar mata kaki yang sedikit memar.

Mungkin bisa dikatakan hampir terlambat. Gadis itu memang tertutup dengan urusan pribadi, apalagi menyangkut perihal yang menurutnya bisa ia urus sendiri. Tapi kali ini, kekhawatiran itu bersambut dengan kekhawatiran kakak tertuanya. Tangisnya tak bisa dibendung. Gadis itu pamit untuk mencari kejelasan atas apa yang terjadi padanya.

Bersama abang kandung yang segera memutuskan cuti dari sekolah tempatnya bekerja demi salah satu adik perempuannya, ia kembali menaiki sepeda motor. Tujuan awal adalah puskesmas terdekat. Tapi tak cukup membantu. Akhirnya, Rumah Sakit Ibu dan Anak di kota menjadi tujuan berikutnya. Mobil carteran sudah disiapkan, karena –sesuai SOP— puskesmas tidak bisa memberikan jasa ambulance.

Pasien tanpa rujukan segera mendapat pelayanan tanpa adiminisrasi berbelit. Alhamdulillah ‘ala kulli haal. Si gadis segera diinterogasi oleh perawat dan kebanyakan dijawab dengan tidak tahu dan tidak ada rasa sakit tapi darah masih bersimbah sehingga perawat memasangkan pembalut khusus yang biasa digunakan wanita nifas (baru lahiran). Setelah menjalani pemeriksaan dan USG, diputuskan harus dilakukan tindakan operasi untuk menghentikan pendarahan.

Wali yang bertindak sebagai pengganti orang tua dihubungi, meminta persetujuan untuk melakukan tindakan yang sangat berisiko terhadap masa depan si gadis. Ntah apa yang memenuhi pikirannya. Air mata tak berhenti mengalir. Sakit yang berdarah, bukan karena rasa sakit, tapi dominasi cemas yang sulit diuraikan dengan kata-kata.

Operasi dilakukan setelah 7 jam pendarahan tanpa henti, tanpa pingsan dan rasa sakit padahal ia memiliki tensi rendah.  Subhanallah.

Efek bius menyebabkannya menggigil hebat. ‘Jika Engkau ingin mencabut nyawa hamba saat ini, izinkan hamba mengakhirinya dengan menyebut kalimat-kalimat terbaikMu, ya Allah.’ Gadis itu berusaha berzikir tanpa henti.

Operasi berlangsung selama kurang lebih setengah jam tanpa hambatan. Gadis itu dipindahkan ke ruang pemulihan. Tubuh yang terbiasa melasak, merasa bosan karena belum bisa digerakkan. Namun, kakak dan adik yang bergantian menjaga dengan suka rela membacakan ayat-ayat suci al-Quran sebelum tubuhnya dipindahkan ke kamar rawat inap.

Malam itu, 10 orang teman seperjuangan di kampus datang menjenguknya. Terlihat pecahan tangis yang justru mengundang tawa haru. Ya, gadis itu merasakan kehangatan yang tak biasa. Selain menghibur, mereka juga menghadiahkan al-mulk.

Keesokan malamnya, gadis itu sudah diizinkan pulang. Satu minggu ia dilayani bak seorang ibu yang baru melahirkan bayinya. Makan diantar ke kamar, tidak boleh banyak bergerak apalagi bekerja di rumah. Minum obat sesuai jam dan takaran yang telah ditentukan non stop selama 7 hari. Pada hari ke-7 ia memeriksakan diri (kontrol) ke dokter kandungan yang bertindak sebagai kepala pada operasinya.

“Mantap jahitan aku. Tak ada bekas.” Kata dokter tersebut merasa puas. “Kamu nggak perlu minum obat lagi. Kalau mau nikah minggu depan juga udah bisa. Kalau suami kamu orang teknik, dokter umum apalagi orang biasa, gak akan tahu. Kecuali dokter kandungan.”

Betapa girangnya hati gadis itu. Kekhawatiran yang menggeluti pikiran dirinya dan keluarganya telah terjawab. Namun, ia masih diperlakukan istimewa oleh keluarganya selama satu satu bulan ke depan. ‘Istirahat setelah 4 tahun memperjuangkan skripsi dan memenangkan lomba,’ kata mereka,

“Sesungguhnya Allah mengangkat derajat sebagian kaum berkat kitab ini (al-Qur’an)

 dan Allah menghinakan kaum yang lain,

 juga karena al-Qur’an”

(HR. Muslim)

*Kisah ini telah diterbitkan di buku Izinkan Aku Menjadi Teman Hidupmu (Al-Qur'an) /diterbitkan oleh K-Media Yogyakarta, ISBN: 978-602-451-860-8

Komentar

Postingan Populer