Atas Nama Cinta
Sebut saja namanya Wardah. Dia adalah gadis desa, yang besar di daerah semi kota. Keluarganya sangat sederhana dengan jumlah saudara sebanyak 9 orang. Sebagai bentuk baktinya untuk tidak merepotkan orang tuanya dalam memenuhi biaya pendidikan, ia rela bersabar hidup jauh dari orang tua dan mengadu nasib di perantauan.
Beruntung, pemerintah kabupaten di tempat Wardah sekolah, menerapkan kebijakan sekolah gratis hingga 12 tahun. Jadi, ia tidak perlu membayar biaya semesteran dan sejenisnya.
Kehidupan Wardah –sehari-harinya— adalah sebagai asisten rumah tangga keluarga kakak tertuanya. Sekolah dari pagi sampai sore, malam mengerjakan tugas-tugas sekolah dan kadang juga mengajar ngaji serta les privat anak-anak usia SD dan SMP.
Di sekolahnya, selain aktif di Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), Wardah juga berjuang untuk menjadi juara umum sekolah dan mempertahankannya. Dengan begitu, ia bisa memperoleh beasiswa dari sekolah di tiap semesternya dan ia tabung untuk biaya kuliahnya nanti.
Di luar sekolah pun, Wardah beserta teman-temannya sering diberikan dispensasi untuk mengikuti berbagai jenis perlombaan, baik di tingkat kabupaten, provinsi bahkan nasional. Mereka pun tak jarang membawa pulang beragam ‘penghargaan’.
Februari sampai Juni 2015 adalah bulan-bulan perjuangan bagi Wardah untuk menunjukkan eksistensi diri dalam seleksi masuk perguruan tinggi negeri favorit. Seleksi demi seleksi diikuti. Tapi, tak satu pun membuah-kan hasil yang ia inginkan.
Sedih dan kecewa? Pasti.
Apalagi, ketika sadar bahwa pihak sekolah tak tergerak memberikan bantuan –moril apalagi materi—dalam prosesnya kecuali ketika mendaftar Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN); ketika tak diizinkan keluarga memilih PTN yang diimpikan pada SNMPTN; ketika teman seperjuangannya lulus di kampus yang ia idamkan melalui jalur SNMPTN dan beasiswa Etos; ketika teman belajar sekaligus teman bermain yang menitipkan berkas untuk diantar ke kabupaten ternyata adalah yang dipilih sebagai penerima Beasiswa Utusan Daerah (BUD); ketika teman berjuang mengurus BUD, juga lulus di kampus idamannya melalui jalur SBMPTN dan Bidikmisi Dikti.
Wardah, Gadis Desa peraih prediket ‘Siswa Paling Berprestasi’ selama 3 tahun di sekolahnya (SMA), akhirnya diterima di salah satu kampus negeri provinsi melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (UM-PTKIN) beberapa minggu setelah Idul Fitri berlalu.
Awalnya, Wardah merasa tidak yakin. Selain karena ia lulusan jurusan IPA, juga karena Bahasa Arab –sebagai materi yang diujiankan—, tidak menjadi mata pelajaran bahasa asing di angkatannya (SMA). Namun, berbekal ilmu Bahasa Arab dasar yang ia pelajari selama 6 tahun di madrasah (MDA dan MDW), ia memberanikan diri ‘meminta’ pada Sang penerima do’a agar diterima di Kampus pilihan terakhirnya tersebut.
Selama 3 (tiga) semester ia jalani kehidupan kampus dengan tanpa ambisi, ngalir seperti air. Perbedaan yang sangat kontras dengan kehidupan masa sekolahnya dulu, menarik dirinya dari kesibukan internal kampus.
Pada ‘sunyi dalam keramaian’, ia memilih merapatkan diri pada Sang Pembuat Skenario kehidupan; memperbaiki sholat, mengulang dan memperkuat hafalan Quran, memperbanyak teman, memperbaiki cara bersikap dan sesekali mengikuti kegiatan-kegiatan di luar kampus. “Laa yamuutu wa laa yahya, hidup segan mati tak mau.”
Beruntung, Wardah tinggal di gedung 3 lantai dengan sebutan ‘penjara suci’ bagi yang ingin memperbaiki diri: Asrama Putri Ma’had Al-Jami’ah UIN Suska Riau. Itu lah tempat ia meluahkan seluruh ke-‘penat’-an dan kekecewaan yang menahun terus berkecamuk di dalam hati dan pikirannya.
Kilas balik hidupnya terjadi ketika Gramedia mengadakan diskon besar-besaran di akhir tahun 2016 (baca: cuci gudang). Sebagai pencinta buku, ia memborong beragam jenis buku bacaan, dan yang paling diminatinya adalah buku motivasi.
Dari buku antologi Catatan Sang Pemenang (2013), Wardah seolah memperoleh semangat baru. Disusul dengan mengikuti Emotional Spiritual Quotient (ESQ) Training yang ditaja oleh Bidang Kemahasiswaan UIN Suska Riau dan diperuntukkan bagi seluruh mahasiswa penerima Bidikmisi Kemenag.
Bahwa kesuksesan di dunia haruslah mengacu pada kesuksesan di akhirat. Bahwa hidup yang sehat dan cara berpikir sesuai koridor Islam akan membawa manusia pada posisi yang tak mudah terkalahkan oleh zaman. Bahwa suara hati adalah pancaran sifat-sifat Ilahi yang akan menjernihkan pola pikir dari belenggu pemikiran yang menghalangi kecerdasan emosional. Bahwa rukun iman dan Islam adalah prinsip membangun ketangguhan pribadi dan sosial. Ya, bahwa kecerdasan intelegensia bukanlah penentu utama untuk menjadi manusia yang sukses dan bahagia. (ESQ)
Lalu, apakah si Wardah ‘seketika’ meraih sukses dan bahagianya?
Heh! Tentu saja tidak!
Banyak proses yang harus dilalui; banyak rintangan yang dihadapi; banyak cobaan yang menghampiri; untuk menguji seberapa besar tekad yang dirajut kembali. Galau dan malas yang masih sering bertandang, pun menjadi tantangan tersendiri bagi diri yang pernah patah harapan.
Namun, di usianya yang menuju ke-21 tahun, ia perlahan mulai tersenyum atas pencapaian-pencapaian yang takkan ia dapatkan jik
a kuliah di kampus impiannya dulu.
Akan mimpi-mimpi masa kecilnya yang banyak terwujud; akan dirinya yang berkesempatan merawat ayahnya ketika sakit di usia senja; akan ia yang dipercaya menemani ibunya melakukan perjalanan ke tanah suci; dan akan orang tua dan keluarga yang semakin memercayai-nya untuk terus meng-upgrade diri.
Maka atas kekecewaan yang dialami, pasti ada pembelajaran dan rencana Tuhan untuk membahagiakanmu. Tinggal dipilih, mau bangkit dan merajut kembali ‘mimpi’ yang hampir mati, atau membiarkannya saja menjadi cerita yang tak berubah bahagia.
Dalam sinopsis buku Aku, Impian dan Takdir Tuhan (2020) saya menuliskan bahwa rintangan dan kegagalan adalah bukti Pemilik Kuasa yang menginginkan hamba-Nya senantiasa dalam kebaikan. Tuhan telah berjanji memberikan kesempatan untuk memperbaiki segalanya, lalu manusia lah yang yang memutuskan: Menyerah atau Bangkit.
Bukan kah, dengan bersyukur Allah akan semakin menambah nikmat-Nya? Lalu, nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kau dustakan? Maka percaya lah, Tuhan melakukannya atas nama cinta.
Komentar
Posting Komentar